KISAH KASIH JUNJUNG DAN RAHMAN (PART 2)
Oleh: Syamsidar
Mengenal kisah pertemuan antara Junjung dan Rahman, mahout dan gajah dari tim Flying Squad di Taman Nasional Tesso Nilo.
Junjung mulai mengenal gajah pada pertengahan tahun 1999 ketika ada lowongan untuk honorer di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau. Ia yang lulusan SMA merantau dari Tapanuli Selatan-Sumatera Utara dan sangat membutuhkan pekerjaan. Tak terpikir olehnya bahwa pekerjaan yang dihadapi adalah mengurus gajah.
Junjung mengaku sangat terkejut ketika pertama kali dibawa ke PLG, terlebih lagi saat diberitahu tugasnya untuk merawat gajah. Tak terbayang sedikitpun pekerjaan seperti itu.
“Sekilas terpikir oleh ku, ini persis seperti di kampung disuruh menggembala kerbau. Padahal aku merantau mencari pekerjaan,” ucap Junjung dalam hati.
Namun semua pikiran itu dibuang jauh-jauh, yang terbayang adalah ia harus bertahan hidup di perantauan. Dan dimulailah hari-harinya bersama gajah hingga kini.
“Tiga bulan pertama saya belum diberi kepercayaan megang gajah tetapi disuruh mencari rumput untuk pakan gajah,” kenang Junjung.
Kemudian ia diberi tanggung jawab untuk merawat gajah kecil yang berumur sekitar 7-8 tahun. “Gajah betina yang diberi nama Monika ini masih setengah jadi,” kata Junjung mengenang gajah pertama yang dirawatnya. Monika belum sepenuhnya jinak karena baru beberapa bulan sebelumnya ditangkap oleh petugas dari BBKSDA Riau karena terjadi konflik gajah di salah satu kantong gajah di Riau. Pada saat itu ia belum bisa dinaiki tetapi masih digandeng atau dibawa jalan beriring. Para seniornya terus memantau sehingga tetap memberikan bantuan dan masukan agar Junjung berhasil menaklukkan gajah kecil yang masih cukup liar ini.
“Bahkan ketika saya berhasil menunggangi Monika, saya sempat mengalami kecelakaan kerja yang serius, ujar Junjung. Monika berlari kencang sehingga keseimbangan saya tidak terkendali , saya terjatuh namun salah satu kaki saya masih tersangkut di tali kekang leher Monika. Saya pun terseret beberapa meter.”
“Entah apa yang ada dalam pikiran Monika. Ia memepetkan saya ke sebuah pohon, leher saya sudah sangat terdesak ke pohon tersebut. “ terang Junjung.
Namun teman sesama mahout, pengawas dan paramedis yang bertugas saat itu segera membantu Junjung. “Saya tidak ingat apa-apa dan segera dilarikan ke rumah sakit. Satu bulan saya harus beristirahat di rumah sakit karena beberapa luka yang saya alami,” ujar Junjung.
Orangtua Junjung yang datang menjenguk pun melarangnya untuk kembali menjadi mahout melihat resiko pekerjaan tersebut. Namun tekad Junjung sudah bulat dia harus bertahan karena belum mendapat pekerjaan yang lain. Setelah pulih, ia pun kembali ke PLG dan merawat Monika kembali. Perlahan Junjung pun dapat “menundukkan” Monika.
Di awal 2001, Junjung diberi tugas untuk merawat gajah jantan remaja yang sudah cukup besar bernama Reno.
“Merawat gajah jantan dan betina beda-beda tantangannya” ujar Junjung.
“Jantan memiliki gading sehingga kita harus ekstra hati-hati merawatnya selain prilakunya jauh lebih reaktif dari gajah betina,” tambahnya.
Pada pertengahan 2004, Junjung harus berpisah dengan Reno karena ikut tim Flying Squad di Tesso Nilo. Perjumpaan dengan Rahman di Tesso Nilo bukan yang pertama bagi Junjung karena sebelumnya di PLG walaupun tidak bertugas merawat Rahman, Junjung sudah cukup kenal dengan prilaku Rahman.
Rahman adalah gajah hasil tangkapan BKSDA Riau pada 23 September 1995 dari salah satu kantong gajah di Riau yakni dari Desa Pulau Gadang, kantong gajah PLTA Koto Panjang-Kabupaten Kampar. Diperkirakan umurnya saat itu sekitar 10 tahun. Dan kini Rahman berumur sekitar 30- 32 tahun.
Pada saat itu, untuk mendukung pembangunan proyek Pembangkit Listrik Bertenaga Air Koto Panjang, penduduk desa tersebut dipindahkan. PLTA ini dimaksudkan untuk mensuplai listrik di wilayah Riau dan Sumatera Barat. Tidak hanya penduduk, gajah yang juga mendiami daerah tersebut diselamatkan dengan memindahkannya ke beberapa tempat, salah satunya ke PLG Minas.
PLTA ini menggunakan air Sungai Kampar sebagai sumber penggerak turbinnya, saluran masuk ke penampang dam PLTA ini berada di daerah Rantau Berangin. Akibat pembuatan dam atau waduk untuk PLTA ini beberapa desa pada kawasan sekitar Koto Panjang menjadi terendam, sehingga pemukiman warga tersebut dipindahkan.
PLTA Koto Panjang memiliki kapasitas terpasang 3 x 38 megawatt (114 MW). Pada musim kemarau, kemampuannya menyusut hanya menghasilkan 60 MW. Hal ini disebabkan terbatasnya debit air sungai tersebut. (sumber Wikipedia).
Junjung sebelumnya merupakan mahout di PLG-Minas. Ketika ia ditunjuk oleh supervisor untuk ikut tim Flying Squad di Tesso Nilo, ia merasa bangga karena terpilih dari sekian banyak mahout lainnya yang ada di PLG. Bukan saja karena tawaran yang lebih baik tapi ia ingin mencoba tantangan baru di dunia perawatan gajah. Sudah lima tahun juga ia menjajal kemampuannya di PLG Minas bergelut dengan kehidupan gajah dan ia berpikir menjadi anggota Elephant Flying Squad pasti beda karena tim ini akan membantu menangani konflik gajah.
Tesso Nilo merupakan hutan dataran rendah yang tersisa di Riau. Di dalamnya hidup sekitar 150 ekoar gajah Sumatera, hampir setengah dari populasi gajah Sumatera di Riau berada di kawasan ini. Namun karena alih fungsi lahan dan perambahan yang terus terjadi menyebabkan semakin sempitnya daerah jelajah gajah. Pemukiman, kebun sawit dan lahan terlantar telah menggantikan habitat alami gajah. Sementara kebun sawit yang ditanami di daerah perlintasan gajah kerap kali memicu konflik antar gajah dan manusia. Gajah memakan pohon sawit muda atau pelepah sawit muda dan masyarakat merasa dirugikan karena harus mengganti tanaman yang dimakan gajah. Dan konflik pun terjadi, sering kali penanganan konflik dilakukan tidak sesuai prosedur bahkan gajah diracun sehingga menyebabkan kematian pada gajah.