MELEMBA DALAM BIDIKAN RADAR JASA LINGKUNGAN
Siapa yang tak kenal Melemba? Desa penyangga Taman Nasional Danau Sentarum ini ibarat gadis cantik yang sedang bersolek. Keanekaragaman hayati yang dimilikinya, cukup membuat dunia mengarahkan pandangannya ke salah satu wilayah terpencil di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Desa berpenduduk 335 jiwa ini seperti sebuah buku yang tebal, dimana setiap halamannya menawarkan beragam makna. Kawasan yang didominasi perairan, mengisyaratkan sebuah peradaban sungai. Melemba dialiri sungai besar bernama Leboyan.
Sungai ini sekaligus menjadi urat nadi kehidupan dan identitas budaya bagi warga Desa Melemba. Selain sebagai ekosistem penting di koridor Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum, Leboyan memiliki fungsi hidrologi dan menjadi habitat berbagai jenis flora-fauna perairan. Secara administratif, desa ini memiliki wilayah seluas 26.186 hektar. Sebagian besar atau 50 persen wilayahnya digunakan untuk perkebunan karet. Sedangkan di sektor pertanian (ladang) 15 persen, dan permukiman sebanyak 15 persen.
Desa ini juga memiliki kawasan perairan seluas 45 persen. Danau terbesar bernama Telatap dan berada di Dusun Pelaik. Hanya saja karakteristik danau ini bersifat temporer. Danau dengan karakteristik permanen dan terluas bernama Danau Lukuk. Danau seluas 60.26 hektar ini terletak di Dusun Meliau.
Melalui berbagai inisiatif lokal, Desa Melemba akhirnya dikukuhkan sebagai desa lingkungan dan ekowisata. Alasannya sederhana, desa ini memiliki produk yang dapat atau tidak dapat diukur secara langsung berupa jasa wisata alam/rekreasi, perlindungan sistem hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan dan kenyamanan.
Jasa Lingkungan
Merujuk data di atas, Desa Melemba ibarat surga yang terpendam. Di balik keanekaragaman hayati yang ada, terselip keindahan danau, perbukitan, satwa, budaya yang kental, dan beragam jenis ikan air tawar. Kekayaan alam yang tersemat itu menjadi daya magnetik yang kuat bagi banyak pihak untuk menjamahnya.
Tak terkecuali WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat yang mencoba membidani bagi lahirnya program ekowisata berbasis masyarakat lokal. Delapan tahun berjibaku dengan warga Melemba, wajah desa yang kini berpenduduk 335 jiwa ini pun kian berseri.
Ceritanya berawal pada tahun 2008. Kala itu, ada keinginan menggali potensi yang ada di Desa Melemba, tepatnya di Dusun Meliau. Pilihan paling memungkinkan adalah program pemberdayaan masyarakat melalui fotografi kerjasama WWF-Indonesia dengan Photovoices International.
Program ini pun berhasil mengungkap potensi kekayaan alam di desa itu melalui fotografi. Salah satu satwa yang berhasil diidentifikasi keberadaannya adalah orangutan.
Melihat besarnya potensi alam yang ada, maka WWF-Indonesia Program Kalbar menggelontorkan sejumlah program pendampingan masyarakat. Di antaranya, membantu merancang pembuatan peraturan desa (Perdes) ekowisata, berbagai pelatihan pengelolaan ekowisata, pembentukan kelompok pengelolaan pariwisata, dan training monitoring laju peluruhan sarang orangutan.
Melemba menjadi salah satu lokasi penting bagi upaya pelestarian Orangutan di koridor TNBK-TNDS dimana dari total populasi 2,500 individu orangutan di Kapuas Hulu, 581 orangutan hidup di koridor dan utamanya di sekitar hutan di Desa Melemba.
Selain itu, ada pula program pembangunan pusat pengamatan satwa di Bukit Peninjau, Dusun Meliau, pemberdayaan masyarakat melalui program restorasi lahan kritis, monitoring sarang orangutan, dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia melalui serangkaian pelatihan dan studi banding ke wilayah tertentu.
Jalan panjang yang menyertai serentetan intervensi program di jantung Borneo ini berimplikasi positif bagi masyarakat lokal yang berdiam di Desa Melemba, khususnya Dusun Meliau. Upaya perlindungan orangutan beserta perbaikan habitatnya menjadi modal awal untuk memperbaiki sistem dan tatanan sosial.
Salah satu dampak positif paling nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adalah ketersediaan infrastruktur dasar seperti air bersih hingga ke rumah warga dan lampu penerang melalui teknologi tenaga surya. Ini adalah buah atau imbal jasa lingkungan dari upaya yang sudah dijalankan oleh warga melalui pendampingan WWF selama kurun waktu delapan tahun.
Dampak lainnya adalah peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Kapuas Hulu. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kapuas Hulu mencatat, jumlah kunjungan pada 2012 mencapai 2.552 orang.
Angka ini mengalami peningkatan cukup tajam pada 2014 dengan jumlah kunjungan mencapai 3.631. Kemudian pada 2015 jumlah kunjungan wisatawan mengalami peningkatan menjadi 4.623.
Dari total jumlah wisatawan yang ada, Desa Melemba menjadi penyumbang utama bagi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan di kabupaten konservasi itu. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Melemba ini tentunya berimplikasi bagi peningkatan pundi-pundi ekonomi masyarakat setempat.
Ibarat gayung bersambut, program yang sudah berjalan itu pun mendapat respon positif dari pemerintah. Ini ditandai dengan banyaknya kucuran program yang digelontorkan pemerintah pusat dan daerah melalui berbagai bidang. Di antaranya, pembangunan infrastruktur jembatan, rumah lanting, pembuatan homestay, pembangunan pendopo dan WC umum, serta berbagai pelatihan yang sedang berjalan hingga saat ini.