MENGAMPU CINTA MARKUS LAIMERA PADA WELORA
Angin barat berhembus kencang ketika speedboat yang kami tumpangi merapat ke pesisir Desa Welora. Langit memberi celah pada air untuk mengalir, menurunkan rintik yang menghujam permukaan laut dengan kasar. Desa Welora terletak di Pulau Dawera, setitik pulau yang masuk dalam Kecamatan Dawelor-Dawera, Kepulauan Babar Timur.
"Selamat datang di Welora," sambut kepala desa Welora, Sarjun Walupi, serta Markus Laimera, sekretaris desa, begitu kami turun ke pantai. Bayang-bayang kebun kelapa yang berjumlah puluhan menaungi kami melangkah menuju gerbang desa. Tepat di depan gerbang, dua orang anak perempuan memberikan salah dua dari kami topi, segelas sopi—alkohol tradisional khas Maluku, dan menyanyi dalam bahasa Welora. “Oletwala!” sahut Tomi—dengan pakaian necis berkerah dengan warna merah, berdiri di samping anak-anak—diiringi pekikan lainnya yang menyambut dengan gemuruh “oii!”Oletwala adalah salam khas Welora, setara dengan kalwedo—yang umum digunakan di Maluku Barat Daya.
Kami berjalan masuk ke desa dan berhenti tepat di depan sebuah gereja dengan halaman yang cukup besar untuk menampung sampai 50 orang, dan sebuah patung lelaki dengan muka yang dingin, berbadan kaku, menghadap ke arah laut sambil tangan kirinya memegang kitab suci pada dadanya dan tangan kanan seakan melambai, menggamit kami untuk mendengarkannya, para wisatawan yang baru saja menjejakkan kaki di bumi Welora.
Desa Welora merupakan salah satu destinasi yang ‘tersembunyi’ karena letaknya yang sulit dijangkau dan tersembunyi, sehingga menjadikannya sebagai destinasi minat khusus, terutama untuk kegiatan jelajah bawah air. Pamor desa ini semakin dikenal ketika sukses memenangkan juara satu dalam API (Anugerah Pesona Indonesia) Award oleh Kementerian Pariwisata untuk kategori destinasi wisata baru pada tahun 2020. Hal ini merupakan buah kerja keras dari seluruh warga selama satu dekade terakhir, termasuk Markus Laimera, atau yang akrab disapa Om Max, salah satu inisiator pengembangan wisata yang ada di desa. Markus Laimera, mempunyai mimpi besar: desanya menjadi tujuan orang-orang untuk berwisata.
Dahulu, Welora sama seperti desa-desa lainnya yang ada di Maluku Barat Daya, dengan rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan pelepah kelapa, dengan satu akses jalan. Ayah dari Om Max, Jepta Laimera, mulai menginisiasi perubahan tata letak desa dan menambah beberapa ruas jalan desa, dibantu oleh Max muda dan beberapa pemuda lainnya yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas.
“Katong bikin jalan, siram karang dari sana itu,” ia menunjuk sebuah ruas jalan yang dulu digunakan sebagai satu-satunya jalan yang ada di desa. “Beliau mengusulkan penambahan beberapa lorong, dan harus merelakan beberapa rumah untuk lebih mundur untuk memberikan ruang.” Generasi sebelumnya mulai jengah dengan perubahan yang mereka buat. Kata mereka, siapa yang akan membiayai pemindahan rumah?
Walaupun mendapat pertentangan, pembuatan jalan baru itu membuat banyak warga yang akhirnya bersimpati dan sukarela ikut membantu, demi tata letak desa yang lebih baik. Desa Welora yang awalnya hanya dihuni beberapa kepala keluarga, lama-kelamaan mengundang warga dari desa lainnya untuk ikut tinggal dan memperbesar wilayah desa.
“Bapak orangnya vokal sekali. Dia juga mengetuai LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Katong adopsi aturan pemerintah pusat, jadi akhirnya pakai kepala desa.”
“Katong bersyukur terjadi perubahan,” ucapnya.
Salah satu mimpi Om Max adalah menjadi pemain sepak bola, mimpi yang telah ia canangkan semenjak keluar dan bersekolah di Ambon. Kemudian ia harus merelakan mimpinya dikubur dalam-dalam, setelah kerusuhan Ambon terjadi. Suasana perpolitikkan yang tidak stabil, membuatnya memilih untuk kembali ke Welora.
“Mulai dari itu [kerusuhan Ambon], saya tidak pernah lagi memegang bola. Saya memutuskan kembali ke desa,” ujarnya.
Sebelum wisata bergeliat, orang-orang Welora bekerja selayaknya warga pesisir lainnya; mencari ikan dan menjualnya ke desa-desa lainnya. Om Max yang melihat pariwisata sebagai peluang, mulai mengumpulkan delapan orang anak-anak untuk membantunya membuka semak belukar yang menutupi tempat-tempat bersejarah dan pantai yang ada di Welora. Meskipun tempat yang ia bersihkan terkenal angker, ia bersikeras bahwa niat baik akan selalu dilindungi.
Pada tahun 2013, sebuah kapal pinisi dengan konsep Live on Board mulai merapat ke perairan Welora. Kapal yang bernama Oceanic tersebut berlabuh di sekitaran perairan Welora tanpa izin dari warga dan melakukan aktivitas penyelaman di titik selam yang bernama Ututkol.
“Karena ada peraturan tertulis yang melarang untuk masuk ke wilayah Welora dan melakukan kegiatan tanpa izin, maka beberapa pemuda mulai bereaksi atas kejadian tersebut,” ujar Om Max.
Sebelum kejadian ini, orang-orang sudah mulai gusar dengan maraknya kasus pencurian ikan di wilayah Welora yang melakukan penangkapan dengan cara tak patut seperti menggunakan racun ataupun bom. Warga Welora tidak rela melihat laut mereka mati dan mulai mengintai apa yang dilakukan oleh kapal tersebut di wilayah mereka. Mereka melihat speed boat yang mengangkut tabung oksigen, masker selam, juga peralatan menyelam lainnya yang tidak terkait dengan kegiatan penangkapan ikan.
Akhirnya, dengan parang dan busur di tangan yang siap menghujam, mereka mendatangi kapal dan meminta para turis mancanegara itu untuk merapat ke desa. Semua barang-barang bawaan ditahan di balai desa. Lalu, dipanggilah kapten kapal untuk menghadap pemerintah desa.
“Karena anda tidak melapor, maka dikenakan pasal dengan denda satu juta lima ratus.”
Orang-orang desa menceritakan mengapa mereka khawatir dengan peredaran kapal di wilayah mereka. Sang kapten meminta maaf dan menerima hukuman, dan setuju dengan kekhawatiran yang orang-orang desa ungkapkan tentang laut mereka. Sebelum pulang, sang kapten kapal mengatakan satu hal yang tidak bisa dilupakan Om Max hingga saat ini.
“Percayalah, kelak semua kapal akan ke sini.” Kalimat yang terlontar dari mulut sang kapten ini menjadi cambuk bagi segenap warga desa untuk saling bersinergi memanfaatkan wilayah laut mereka sebagai bagian dari pariwisata. Ketika dana desa telah didapat dan semua perizinan sudah diperoleh, barulah Welora mulai bersolek dengan bebas, sampai sekarang.
“Sepanjang sejarah Welora, untuk pendapatan aset desa yang paling berkontribusi adalah sektor pariwisata.” Om Max mengepalkan tinju ke udara, seakan-akan menggambarkan keyakinannya bahwa wisata menumbuhkan ekonomi yang lebih baik bagi penduduk Welora. Dalam kurun waktu 2018-2023, tercatat ada sebanyak 582 orang wisatawan yang berkunjung ke Welora, dan didominasi oleh warga negara asing sebanyak 95%.
Banyak orang menyangka, Om Max adalah sarjana pariwisata atau sarjana tata kelola kota, tapi ilmu yang ia peroleh untuk mengelola wisata semuanya didapatkan secara otodidak. “Wisata, kan perlu jiwa. Mungkin karena jiwa seni sudah melekat di beta, jadi beta mencoba untuk mengadopsi beberapa pikiran yang beta lihat di kampung orang.”
Buah kerja keras tersebut mengundang kapal-kapal pesiar untuk berlabuh, terlebih saat musim teduh berlangsung, sekitar Oktober hingga Desember. Nama-nama besar seperti KM Raja Manta, KM Rascal 2, Seven Seas, hingga Coralia menjadi langganan singgah untuk merasakan sensasi bawah laut Welora yang menakjubkan. Tercatat, ada sekitar 8 kapal Live on Board per tahunnya yang rutin mampir di sana.
WWF-Indonesia memberikan dukungan penuh dalam pengelolaan Desa Welora sebagai desa wisata yang menerapkan prinsip berkelanjutan. Pada awal Maret 2024, WWF-Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Desa Welora dalam pengembangan wisata bahari berkelanjutan. Seiring berjalannya program, salah satunya denganmelakukan pendataan kajian daya dukung pariwisata, baik di pesisir pantai maupun laut sekitar Desa Welora. Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 20-24 Maret 2024 itu mendapat respon positif, baik dari warga Desa Welora. Selama empat hari, tim WWF-Indonesia melakukan pendataan potensi pariwisata bahari yang ada di Welora, terutama di empat garis pantai untuk mengetahui karakteristik pantai dan telah teridentifikasi lima titik penyelaman untuk mengetahui keanekaragaman hayati laut dan biota kharismatik seperti ikan napoleon, kakatua, pari, penyu hijau, dan hiu sirip hitam.
Rata-rata Indeks Kesesuaian Wisata (IKW) Pantai memperoleh nilai 80.08, yang mengindikasikan bahwa wisata pantai di Desa Welora berada dalam kategori sangat sesuai (S1). Sedangkan untuk daya dukung wisata pantai, PCC (Physical Carrying Capacity) sebesar 192.508 per tahun dengan RCC (Real Carrying Capacity) sebesar 46.622 wisatawan per tahun dan 128 wisatawan per hari.Untuk daya dukung wisata selam, rata-rata penyelam yang dapat ditampung sebanyak 165 orang, sehingga untuk satu tahun dapat menampung hingga 60.209 orang per tahun. Berdasarkan kajian tersebut, jumlah kunjungan wisata di Desa Welora masih di bawah kapasitas maksimum yang dapat ditampung. Rata-rata kunjungan hanya 150 per tahun.
“Tentunya kita tidak ingin di masa depan terjadi overtourism di Welora. Kajian-kajian yang dilakukan WWF-Indonesia tentunya untuk membantu mewujudkan Desa Welora sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan,” ucap Anastasia Alerbitu, Marine Tourism and Community Officer WWF-Indonesia untuk Maluku Barat Daya.
Kajian ini akan menjadi baseline untuk kajian-kajian yang akan dilakukan di masa mendatang, terutama yang menyangkut pada wisata bahari yang berkelanjutan, khususnya yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati laut. Selain kajian, WWF-Indonesia juga mempromosikan Desa Welora di ajang Deep and Extreme Indonesia, video profil dalam kanal YouTube, serta pembuatan brosur dan infografis wisata.
Desa Welora memang masih perlu berlari untuk mengejar kepopuleran Raja Ampat sebagai wisata bahari di belahan Indonesia Timur, namun pondasi untuk menuju ke sana, sudah mulai diperkuat, dengan dukungan dari WWF-Indonesia. Rangkaian program wisata bahari berkelanjutan di Welora ini kedepannya juga tetap dilakukan pemantauan kemandirian pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism), pengenalan BMP (Better Management Practice) untuk menuju pariwisata yang berkelanjutan, hingga kerja sama promosi lebih lanjut baik skala regional maupun nasional. Tentunya dengan mengedepankan keindahan destinasi wisata di Desa Welora sesuai dengan aturan –aturan yang telah melekat sebagai destinasi yang wisata alam yang telah meraga potensi alam dan sumber daya sekitarnya.