PEMBERMAKNAAN SECARA UTUH BERSAMA PANDA CLICK! - TELAAH AKADEMIS (BAGIAN 2)
Patut digarisbawahi, dengan memiliki kamera dan foto, bukan berarti pemaknaan eksistensi akan segera muncul dengan sangat baik. Dalam pembermaknaan ala fotografi, menurut Roland Barthes (dalam Image, Music, Text: 1977), terdapat tiga unsur penting yang tidak dapat ditiadakan. Pertama, Pembermaknaan yang dihasilkan oleh operator atau sang fotografer. Kedua, Pembermaknaan yang dikandung oleh Spektrum atau objek yang dipotret. Ketiga, Pembermaknaan yang muncul dari Spektator atau Pemandang –yang melihat foto. Dari jalinan tiga unsur inilah maka akan lahir makna secara utuh, dan masing-masing unsur memiliki kontemplasi makna yang terpisah sekaligus saling berhubungan.
Pembermaknaan tahap awal lahir dari sang fotografer. Ungkapan Andre Kertesz dapat mewakili hal tersebut: kamera yang digunakan pada dasarnya mewakili mata manusia yang memotret, dan niscara realitas atau pengetahuan itu adalah subjektif (Carole Kismaric, Andre Kertesz: 1993). Karena itu, sebuah foto yang layak, sebagaimana halnya suatu karya (tulis, musik, lukisan, dsb) tidak lahir dari kekosongan makna –denotasi maupun konotasi. Ada hal-hal yang membuat seorang pemotret yang memilih objek apa yang dipotret.
Sederhananya, ketika seseorang memotret, pilihan atas apa yang dipotret tidak akan terlepas dari konstruksi budaya (mindset). Hal itu dilakukan secara sadar maupun tidak –mengacu pada psikoanalisis Sigmund Freud bahwa sebuah karya dapat dihasilkan melalu tindakan secara sadar (ego) atau secara “ketidaksadaran yang muncul dalam kesadaran” (id). Contoh kecil, dalam kesadaran yang utuh, seseorang bisa tidak sadar bahwa ia sedang mengetuk-ngetukkan kaki ketika mendengar sebuah dendang lagu–. Konstruksi itu merupakan suatu pembacaan atas peristiwa, yang intuitif dan berlangsung cepat. Pilihan sang fotografer pada akhirnya akan sangat ditentukan oleh situasi sosial dan kehidupan sang fotografer: yang merupakan suatu argumen, suatu pengalaman, suatu cara menjelaskan dunia.
Sebab itu, pembermaknaan yang lahir dalam tahap awal adalah subjektivitas sang fotografer. Semakin baik fotografer tersebut menyadari keberadaan dirinya sebagai fotografer, semakin baik pula foto yang dapat ditampilkan. Ia akan memahami konstruksi sosial apa, sisi budaya apa, situasi apa, momen apa yang memiliki nilai tinggi untuk direkam, sehingga usaha memotretnya mampu menampilkan makna yang tepat tentang keberadaan dirinya. Dapat diangap, tahapan ini adalah tahapan paling penting dalam menentukan pembermaknaan eksistensi seseorang atau sesuatu.
Dalam proses awal Panda CLICK!, kesadaraan peserta Panda CLICK! bahwa mereka adalah Pemotret-yang-Mampu-Memberikan-Makna-Terhadap-Keberadaan-Dirinya masih sangat minim. Memang bukan perkara sebentar untuk mengubah sudut pandang seorang nelayan yang melihat ikan adalah sumber penghasilan menjadi ikan adalah cerita diri; mengubah sudut pandang dari “bagian cerita” menjadi “pencerita”. Umumnya, ketika seorang peserta menghadiri pesta pernikahan adat, dia akan memposisikan dirinya hanya sebagai tamu undangan atau keluarga mempelai. Pilihan “memposisikan diri” itu terjadi begitu saja –tanpa sadar-, karena frekuensi keterbiasaan. Foto yang dihasilkan akhirnya merupakan sudut pandang seorang tamu undangan atau keluarga mempelai. Jika ia tamu undangan, yang dipotret adalah pengantin atau pelaksana hajatan. Jika ia keluarga mempelai, yang difoto adalah tamu undangan. Padahal, memaksimalkan pembermaknaan diri tidak sekadar memotret “permukaan”. Ada substansi yang patut diangkat, yang darinya akan menonjolkan pembermaknaan eksistensi. Rio Pangestu, Miloh, Jet, dan Edi, peserta Panda CLICK!! dari Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu menunjukkan foto-foto yang secara substansi mampu memberi andil terhadap pembermakaan eksistensi: foto aktivitas adat budaya Iban. Ada foto mengenai lomba menyumpit, menganyam, menenun, berburu dengan anjing, gawai (pesta panen), dan lain-lain.
Mungkin, foto-foto itu belum menampilkan cerita utuh tentang kebudayaan masyarakat Iban Batang Lupar, namun setidaknya, para fotografer telah memasuki tahap pencerita. Mereka ingin menceritakan bahwa ada kegiatan adat Iban yang masih dilakukan hingga sekarang, bahwa masyarakat Iban bangga dengan ke-Iban-annya. Bila kesadaran bercerita ini meningkat, pembermaknaan eksistensi masyarakat Batang Lupar dapat berlangsung secara maksimal.
Tahap pembermaknaan kedua muncul dari foto. Sebelumnya perlu dibedakan antara objek dan foto: objek adalah konteks dan foto adalah bahasa. Objek sudah ada sementara foto adalah bahasa yang menyampaikan keberadaan ‘ada’. Lalu, dalam sebuah foto terdapat studium dan punctum. Studium adalah suatu kesan secara umum, yang akan memutuskan seorang pemandang memutuskan sebuah foto bersifat apa; politis atau historis, indah atau tidak, dan dalam sekejap menimbulkan reaksi suka atau tidak suka Pemandang. Seperti seorang maniak belanja yang jatuh hati pada sebuah pakaian dalam pandangan pertama dan terus terpikir olehnya hingga berhari-hari bila tidak dibeli. Sementara itu, punctum adalah fakta terperinci dalam sebuah foto yang menarik dan menuntut perhatian Pemandang, yang pada akhirnya mengeluarkan sisi kritis si Pemandang. Bagaimana bentuk pipi orangutan betina dalam potret orangutan secara utuh atau bagaimana detail motif tatto Iban dari potret keluarga Iban yang sedah memecah tengkawang, merupakan bagian dari punctum ini.
Studium dan punctum, dua hal tersebut merupakan konsep umum yang menuntun penafsiran sebuah foto. Artinya, foto yang mampu menampilkan makna secara utuh adalah yang mengandung kedua hal tersebut.
Pembermaknaan eksistensi suatu masyarakat membutuhkan foto-foto yang memiliki nilai keberadaan diri. Bila ingin menceritakan diri secara utuh artinya foto-foto harus memiliki konstruksi sosial, budaya, politis, lingkungan, dan berbagai hal yang berkenaan dengan keberadaan masyarakat tersebut. Selain itu, untuk mendukung hal tersebut, seorang fotografer mesti menguasai teori memotret: komposisi, momen, pencahayaan, angle, dll, sehingga foto dapat dimaksimalkan sebagai bahasa. Foto penari adat yang ter-crop kepalanya tentu tidak akan bercerita dengan baik dibanding foto yang menampilkan sosok penari secara utuh.
Terakhir, pembermaknaan yang dilakukan oleh Pemandang. Merumuskan pembermaknaan yang akan didapati Pemandang ternyata tidak dapat berpatok pada Pemotret dan Foto. Sebuah foto tidak memiliki kebekuan makna. Sebuah foto, meski ia dapat dianggap sebagai perwakilan mata fotografer, subjektifitas fotografer, memungkinkan lahirnya subjektifitas yang lain. Pandangan yang sama, objek yang sama, bukanlah jaminan pembermaknaan yang sama. Foto berada dalam keserbamungkinan penafsiran Pemandang.
Lantas bagaimana Pemandang bisa ikut memberikan pembermaknaan eksistensi terhadap sesuatu sementara di sisi lain penafsiran terhadap foto sangat mungkin berbeda? Foto antaran uang pernikahan dapat menampilkan berbagai tafsir: budaya antaran, jumlah uang yang mesti dikeluarkan untuk antaran, mahal atau murahnya pernikahan, dan berbagai macam. Foto seorang anak yang sedang bermain ikan juga akan menimbulkan berbagai penafsiran: anak-anak dari Sebangau, anak dan ikan, aktivitas anak-anak, ikan sebagai potensi ekonomi, dan lain sebagainya. Penafsiran tersebut bisa berputar sesuai dengan konteks foto atau bahkan melebar terlalu jauh.
Untuk itu, dalam pemaksimalan pembermaknaan eksistensi, pembermaknaan yang muncul dari tahapan Fotografer, Foto, dan Pemandang, haruslah memiliki kaitan yang jelas, seumpama sebuah buku yang antara satu bab dan bab lainnya memiliki koneksi. Konektiftas itu pada akhirnya memunculkan tema keseluruhan. Secara luas, konseksivitas itu memunculkan pembermaknaan yang utuh. Oleh sebab itu, Pemandang mesti memahami secara baik konsep subjektifitas fotografer dan makna yang muncul dari fotonya. Akan terlalu melebar jauh bila foto ikan yang melimpah di dalam sampan lantas ditafsirkan sebagai sampan dan persoalan jalur sungai.