PENCARIAN DI UJUNG PARANG TAJAM
Oleh: Bima Prasena (@worldlifetravel)
Parang tajam itu terangkat ke atas, lebih tinggi dari kepala. Tangan besar berotot diujung parang itu siap untuk menebas apa yang di depannya, tak ada waktu untuk bergidik ngeri, tak ada waktu buat kami membela diri, selain pasrah.
Seperti biasa, kami berangkat pagi sekali untuk menuju ke titik penyelaman di dekat Ur Pulau, Maluku Tenggara. Kebetulan tim pengamatan Lamun M. Nur Kholis atau yang akrab disapa bang Nuy dan mbak Tiela ikut perahu kami lalu diturunkan di sebelah barat pulau. “Mas Bim, ikut ga?” saya menoleh sambil menekan tombol rana di kamera.
"Tungguu!!" teriakku sambil berjalan cepat di air menuju ke perahu yang bergerak ke belakang dengan perlahan. Kami melambai ke kedua orang tim Lamun yang perlahan semakin kecil seiring perahu menjauh dari bibir pantai. Tidak ada perasaan yang mengganggu, karena hari ini seperti hari ekspedisi sebelumnya yang diisi serangkaian kegiatan padat pengamatan terumbu karang dan lamun.
Satu setengah jam berlalu sejak kami menyelesaikan dive pertama untuk hari ini, sambil menunggu Surface Interval (jeda waktu wajib antar waktu penyelaman) kami menjemput tim Lamun ke titik kami meninggalkan mereka. Semakin mendekat, bibir pantai itu malah semakin sepi, meskipun ada beberapa gubuk tanpa penghuni yang sama seperti saat kami menurunkan tim lamun. Kami menunggu.
"Nuy!! Tiela!!" teriakan kami berlima memecah kesunyian pantai berwarna biru terang itu. Kami mencoba menyisir pantai dengan perahu ke arah selatan, sambil memperhatikan tanda kehidupan disana, tetap tidak ada. "Wah, jangan jangan mereka tidur nih" sahut Bang Farhan yang bersiap turun bersama Om Udin yang menjadi motoris perahu kami. Ini tidak biasa pikirku, biasanya tim lamun adalah tim tercepat untuk mengumpulkan data, karena mereka bergerak hanya di pantai, meskipun harus snorkeling tetapi tanpa menggunakan peralatan dan metoda penyelaman yang memakan banyak waktu, biasanya mereka yang menunggu tim penyelam untuk menjemput.
Hanya Ada Transek yang Tersisa
"Kemana mereka nih?" kata bang Farhan dengan logat Aceh yang kental, sambil naik ke perahu. "Ada transek yang masih kepasang tuh bang" sahut si Itsar. "Semoga tidak masuk kondisi emergensi" pikirku. Saya, Bang Farhan, Itsar, Ihsan dan Ocha hanya menurut saja saat om Udin menyarankan kita menuju ke desa Ur Pulau untuk mencari bang Nuy dan mbak Tiela, setelah setengah jam lebih kami mencari mereka.
Ada tiga kemungkinan yang kami pikirkan dalam keadaan itu, tentang kenapa kami tidak menemukan tim Lamun:
1. Mereka berpindah pantai, karena lamun di pantai barat ini tidak representatif.
2. Mereka menuju ke desa untuk bertanya soal titik lamun atau mengurus perijinan mengambil data lamun.
3. Ini yang paling tidak kami harapkan, terjadinya kondisi yang mengharuskan kami untuk melakukan penyelamatan.
Hanya ada 3 orang anak yang ada di atas dermaga panjang itu, Itsar dan Ihsan mencoba mengikat perahu kami ke tiang terdekat, semuanya begitu tenang sampai sebuah teriakan memecah keindahan pulau ini. Teriakan itu bersusulan, muka-muka garang yang penuh amarah merangsek ke atas dermaga yang tidak lebar, mungkin hampir semua penduduk desa itu berada di satu tempat yang sama, di dermaga yang sekarang telah menjadi jalur panjang yang penuh dengan acungan parang.
Kami bingung, sekaligus ngeri dengan keadaan yang berubah cepat menjadi kondisi Mati-atau-Lari. Saya cepat-cepat menyimpan kamera di box besar tempat kami menyimpan barang-barang elektronik, Bang Farhan, Itsar, Ihsan dan Ocha sudah lebih dulu berada di dermaga dan terkepung kemudian digiring menuju desa, saya dan om Udin yang tersisa.
"Ayo cepat! cepat!!" teriak mereka. Sambil menaiki tiang dermaga, aku bersiap untuk menerima apapun yang datang, dengan pasrah. Tetapi semakin saya masuk ke dalam kerumunan itu, semakin mereka berteriak, tapi bukan padaku, om Udin lah yang menjadi sasaran mereka. Diujung dermaga seorang ibu langsung menuntunku untuk menuju ke rumah pejabat desa, saya begitu khawatir dengan kondisi om Udin, saya berbicara ke ibu untuk menyelamatkan om Udin, "sudah kita kesana dulu" serunya.
Saya menengok ke belakang, pemandangan disela-sela masa yang berteriak itu membuatku ngeri, om Udin sedang diserang oleh dua orang pemuda di atas perahu yang salah satunya sedang memegang parang, habis sudah.
Dampak dari Isu 'Hoax' yang Menyebar di Ur Pulau
Dua ibu di sampingku bercerita tentang "potong kepala", tentang "mencongkel mata dan potong lidah", saat itu semakin besar energiku tersedot untuk berpikir tentang cara bertahan hidup kami semua dikondisi genting ini. Bahaya.
Rumah sederhana itu sudah sesak dengan para 'penonton' di halamannya, sepatu mereka sudah berjejer di depan pintu masuk yang terbuka. Seorang tua dengan tongkat kayu telah duduk di kursi plastik di samping pintu, saya mengucapkan permisi sambil sedikit menunduk. Wajah-wajah tegang tim penyelam tak bisa lagi ditahan, tapi saat itu juga ada rasa lega, bahwa kami bertemu juga dengan Bang Nui dan Mba Tiela yang kami cari-cari.
Saya memperhatikan mereka, syukurlah tidak ada cidera sepanjang penglihatan saya, tapi saya tidak bisa bertanya keadaan mereka saat itu, karena ada yang lebih penting lagi yang harus kami hadapi, yaitu kemarahan masa bersenjata yang memasuki rumah ini.
Kami duduk melingkar diatas kursi plastik yang mereka sediakan, Ocha dan Itsar berada di sebelah tetua kampung yang bertongkat kayu, posisi mereka berada di depan pintu masuk. Saya melihat sebuah parang terangkat diatas kepala Ocha dan Itsar, tidak ada apapun di pikiran saya, kosong. Saya hanya bisa melihat saja sambil berdiri, semua bergerak lambat, waktu berhenti.
Sebuah tangan lain menahan laju bacokan parang itu, beberapa orang lainnya menahan sang penyerang berparang itu untuk keluar, Ocha masih terpaku di tempat duduknya, kami semua begitu.
Belasan orang di dalam rumah itu, tiba-tiba semakin ribut dengan bahasa yang tak kumengerti, pintu belakang itu berusaha diterobos. Kami semua berdiri, seseorang menunjuk ke arah kamar, "ayo, masuk..masuk!" perintahnya. Kami semua masuk, saya berpikir inilah akhirnya. Pintu kamar itu sedikit tertutup, membuat suara gaduh di ruang tamu dan ruang tengah terdengar jelas, kami sangat ketakutan. Tanpa jendela, kamar itu menjadi tempat terbaik bagi para penyerang untuk membunuh kami semua, untuk kami, inilah kaleng sarden tempat terakhir yang akan kami ingat.
"Ayo diminum, makan biskuitnya" salah seorang tetua desa memberikan restunya untuk kami bisa bangun dari mimpi buruk ini. Salah paham, adalah akar semua kejadian ini. Penduduk desa termakan oleh sebuah berita di sosial media tentang ancaman para penculik anak yang berkeliaran untuk memburu organ tubuh. Saat tim lamun mendata, mereka bertemu dengan para pemuda desa yang sedang melakukan patroli, tanpa ba-bi-bu mereka langsung digiring ke desa, meskipun tim kami sudah memberikan surat kepada pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan penelitian, bahkan sehari sebelumnya anggota tim kami sudah menginap di desa ini. Massa justru lebih emosi saat melihat om Udin, orang lokal perairan ini, dan syukurlah om Udin pun tidak terluka parah, meskipun sempat menerima pukulan-pukulan dari pemuda desa.
Kami berfoto bersama, setelah permintaan maaf berulang-ulang dari para tetua desa, dan setelah beberapa jam kami harus bertahan di dalam rumah karena masa yang marah. Namun kemudian, semua justru menampilkan sisi indahnya, kebaikan budi orang lokal yang menawarkan macam-macam bantuan setelah masalah ini kami luruskan, meskipun harus melibatkan tim di basecamp dan Polres via panggilan telepon yang sulit sinyal. Kami pun diantar beramai-ramai menuju perahu kami yang sudah lama menunggu.
Lambaian tangan mereka kami balas dengan antusias. Lega, dan masih tak percaya, tapi akhirnya kami harus sadar bahwa kegiatan yang positif selalu mengundang resiko negatif. Para penduduk kepulauan Kei yang dikenal dengan keramahannya harus terlihat 180 derajat karena rumor negatif sosial media. Sayang.
Sekeras-kerasnya ombak menghantam karang, kami tetap berenang kebasahan, tapi mentari terbenam selalu menunggu kami, di ujung tanjungan yang sepi.