PERAN AKTOR NON-NEGARA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Perubahan iklim merupakan isu global yang dampaknya telah menjadi perhatian seluruh dunia. Terjadinya perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia yang meningkatkan konsentrasi serta merubah komposisi gas rumah kaca (GRK) pada atmosfer. Laju perubahan iklim saat ini telah mencapai titik yang tidak dapat dihentikan, namun hanya dapat diperlambat. Upaya untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim dapat dilakukan dengan melalui upaya-upaya mitigasi, yaitu aksi-aksi yang dilakukan untuk menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi. Tak hanya itu, mengingat perubahan iklim yang tengah terjadi, maka diperlukan juga berbagai upaya adaptasi, yakni aksi-aksi penyesuaian untuk menanggapi dampak perubahan iklim yang sudah terjadi, bersamaan dengan memanfaatkan peluang dan bersiap untuk menghadapi dampak-dampak perubahan iklim lainnya di masa depan.
Upaya mitigasi dan adaptasi sangat penting untuk dilakukan, melihat banyaknya potensi terjadinya berbagai dampak yang muncul akibat perubahan iklim. Berdasarkan Indonesia Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (Indonesia LTS-LCCR 2050), dampak perubahan iklim yang berpotensi terjadi di Indonesia adalah peningkatan temperatur udara dan air laut, peningkatan air laut serta serta munculnya fenomena gelombang tinggi. Peningkatan suhu air laut dapat berdampak pada perubahan alur migrasi dari biota laut, pemutihan karang, kerusakan pada mangrove dan ekosistem rumput laut. Di sisi lain, peningkatan permukaan air laut sekecil 0,01m/tahun juga dapat berubah menjadi ancaman bencana banjir besar pada sekitar 1.700 hektar area pesisir di Semarang pada tahun 2030, dengan total kerusakan yang diperkirakan dapat mencapai Rp 6,1 Triliun.
Dampak peningkatan permukaan air laut secara ekstrem akibat perubahan iklim juga pernah terjadi di pesisir Indonesia. Melansir Indonesia LTS-LCCR 2050, pada tahun 2008-2009 telah terjadi peningkatan permukaan air laut hingga 0.8 meter, yang menyebabkan air laut masuk hingga beberapa kilometer ke arah daratan di pesisir Cirebon, Jawa Barat, yang menyebabkan kerugian material mencapai Rp 1,29 Triliun/ha per tahun. Dampak lain dari peningkatan permukaan air laut adalah potensi terjadinya gelombang tinggi. Indonesia LTS-LCCR 2050 juga memprediksi akan terjadi peningkatan gelombang laut di kawasan pesisir Jakarta pada tahun 2030, hal ini diperkirakan akan menyebabkan banjir pasang di kawasan Utara Jakarta, dan berpotensi menyebabkan kerugian hingga Rp 4,7 Triliun.
Memahami kompleksitas pada penanggulangan perubahan iklim, dan fakta bahwa seluruh dunia merasakan dampaknya, terdapat sejumlah kerja sama antar berbagai aktor dunia dari berbagai cakupan pekerjaan untuk bersama-sama berusaha menanggulangi perubahan iklim. Salah satu kerja sama yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan adalah Perjanjian Paris yang digawangi oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Perjanjian ini merupakan tonggak penting yang menandakan pertama kalinya suatu perjanjian dapat mengumpulkan seluruh negara anggota UNFCCC untuk bekerja sama di bawah ikatan hukum internasional dalam menanggulangi perubahan iklim. Walaupun perjanjian ini terdiri dari komitmen kontribusi masing-masing negara anggota, namun perjanjian ini juga mengakui peran penting aktor non-negara, dalam memenuhi komitmen tersebut. Aktor non-negara terdiri dari pemerintah daerah, yayasan-yayasan dan lembaga masyarakat sipil, sektor swasta, dan organisasi baik yang non-pemerintah atau multilateral.
UNFCCC menyatakan bahwa aktor non-negara memiliki peran dalam mendukung dan mempercepat implementasi Perjanjian Paris, yang pada akhirnya dapat menanggulangi resiko-resiko yang disebabkan oleh perubahan iklim. Aktor non-negara adalah kelompok yang heterogen, sehingga masing-masing memiliki kombinasi keahlian yang berbeda dalam mendukung pemenuhan komitmen nasional. Berbagai sumber daya tersebut terdiri dari kemampuan untuk mewakili opini publik , informasi dan keahlian, akses ke jaringan, akses ke proses pengambilan keputusan, dan akses ke sumber daya materi. Seringkali, aktor non-negara memanfaatkan berbagai keahlian yang mereka miliki dengan melaksanakan aktivitas mulai dari memengaruhi agenda nasional, mengusulkan solusi, memberikan informasi sebagai ahli, memengaruhi proses pembuatan kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat, implementasi kebijakan, mengevaluasi kebijakan, mewakili opini publik, dan mewakili suara-suara masyarakat yang terpinggirkan.
Keterlibatan Pemerintah Daerah
Peran aktor non-negara di tengah semakin meningkatnya dampak perubahan iklim yang sedang terjadi, sangat diperlukan. Kabar baiknya, telah terdapat sejumlah upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, dan implementasi kebijakan nasional yang diinisiasikan oleh sejumlah aktor non-negara di Indonesia, yaitu pemerintah daerah dan organisasi non-pemerintah. Pemerintah daerah merupakan aktor non-negara yang memiliki peranan sangat penting dalam mendorong implementasi kebijakan nasional. Sebagai perwakilan dari pemerintah di tingkat lokal yang memiliki sejumlah kekuatan politik dan ekonomi, pemerintah daerah secara umum memiliki peran yang besar dalam implementasi kebijakan perubahan iklim nasional. Seperti halnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah yang telah memiliki kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap, baik on grid maupun off grid, sebesar 5,6-megawatt peak (MWp). Selain itu Pemprov Jawa Tengah juga telah membangun PLTS Atap di kantor-kantor pemerintahan sejak tahun 2017 hingga 2019. Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.12 Tahun 2018 tentang Rencana Energi Daerah (RUED-P). Contoh lain adalah Pemerintah Kota Bogor yang melakukan upaya pengurangan emisi GRK melalui pengelolaan sampah. Sepanjang tahun 2020, Bogor telah berhasil menurunkan jumlah sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Galuga sebesar 16%. Pengurangan jumlah sampah ke TPA tersebut berhasil dilakukan melalui inisiatif bank sampah, Tempat Pengolahan Sampah – Reduce Reuse Recycle (TPS3R), dan program Bogor Tanpa Kantong Plastik (BOTAK).
Dukungan Organisasi Non-Pemerintah
Organisasi non-pemerintah juga memiliki peran penting dalam mengimplementasi kebijakan perubahan iklim nasional. Peran mereka di daerah-daerah yakni untuk mengadvokasi pemerintah daerah serta mendampingi masyarakat dalam mencari solusi atas permasalahan mereka yang sekaligus menjadi solusi persoalan iklim. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan Rumah Kolaborasi (RuKo), sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan lingkungan di Provinsi Lampung. RuKo mendampingi petani kopi robusta melalui pengembangan Unit Usaha Bubuk Kopi di Ulubelu, Kabupaten Tanggamus. RuKo telah menginisiasi penggunaan solar dryer dome atau kubah pengering tenaga sinar matahari, yang dapat mengatasi masalah dalam proses pengeringan kopi. Bila awalnya proses pengeringan biji kopi membutuhkan waktu hingga satu bulan, namun dengan penggunaan solar dryer dome, proses pengeringan dapat dipercepat menjadi hanya 10 hari.
Saat ini sudah terdapat dua kubah pengering yang digunakan oleh anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Margorukun. Namun akibat keterbatasan kapasistas, baru 30% anggota kelompok saja yang dapat memanfaatkan alat ini. “Kami berharap akan ada penambahan kuantitas kubah pengering bertenaga matahari ini di masa depan, agar nantinya seluruh anggota kelompok tani bisa merasakan manfaatnya,” ungkap Sugeng Widodo, Ketua KTH Margorukun.
Upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pemanfaatan energi terbarukan juga dilakukan di Aceh. Aceh Youth Environmental Forum (AYEF) adalah salah satu organisasi penggerak dalam mendorong berbagai upaya yang dapat mendukung implementasi kebijakan perubahan iklim nasional di Aceh. Awalnya, kesadaran pemuda terhadap energi terbarukan dan efisiensi energi di Kota Banda Aceh masih sangat beragam. Beberapa yang sudah memiliki kesadaran personal, namun masih belum sepenuhnya mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Zikrullah, sebagai ketua AYEF, percaya bahwa pemuda adalah agen perubahan dalam menanggulangi perubahan iklim. Prinsip tersebut kemudian diejawantahkan oleh AYEF menjadi beberapa kegiatan, seperti diskusi bersama mahasiswa mengenai pemanfaatan energi terbarukan dan pelestarian lingkungan”, kampanye kreatif menyambut Hari Bumi, dan edukasi mengenai energi terbarukan kepada sejumlah siswa dan guru di 50 SMA di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kegiatan-kegiatan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2017 dan merupakan bentuk komitmen AYEF dalam mengampanyekan peningkatan penggunaan energi terbarukan dan pengurangan penggunaan energi fosil kepada masyarakat umum maupun para siswa atau akademisi.
Dua gerakan yang dilakukan organisasi non-pemerintah di Lampung dan Aceh ini memperlihatkan betapa pentingnya keterlibatan pihak-pihak non-pemerintah untuk mendukung pemenuhan target iklim nasional. Aktor non-negara memiliki sejumlah keahlian yang berbeda dengan aktor negara, menjadikannya sebagai pihak-pihak yang membawa dampak positif yang berbeda di garis depan penanggulangan perubahan iklim.
Melalui berbagai upaya masing-masing, para aktor non-negara dapat bekerja bersama menahan laju perubahan iklim. Pemerintah daerah dan organisasi non-pemerintah dapat memberi dampak dalam bentuk implementasi kebijakan perubahan iklim nasional. Selain itu, organisasi non-pemerintah juga dapat mendukung implementasi tersebut dengan menjadi agen pendorong peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan isu perubahan iklim. Para aktor memiliki beragam keahlian, sehingga masing-masing memiliki kekuatan tersendiri. Dengan begitu, kesatuan dari beragam kekuatan tersebut diharapkan dapat memberikan hasil yang baik. Dengan kata lain, penanggulangan dampak perubahan iklim tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah nasional, namun semua pihak perlu untuk ikut berkontribusi demi menanggulangi perubahan iklim bersama-sama. Penting untuk terus membuka dan memberikan ruang kolaborasi antar sektor agar dapat mencapai dampak yang lebih besar dalam upaya penanggulangan perubahan iklim.
Tak hanya di Lampung dan Aceh, masih banyak cerita-cerita masyarakat dan organisasi non-pemerintah akar rumput yang bergerak dalam pengembangan dan penyebaran informasi mengenai energi terbarukan di berbagai daerah di Indonesia. Temukan cerita-cerita menarik lain yang telah memberi dampak secara lokal, dalam buku “Berbagai Cerita dari Lapangan ”. Buku ini merupakan hasil pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Yayasan WWF Indonesia bersama para mitra, yaitu Aceh Geothermal Forum (AGF), AYEF, Formerci, RuKo dan Yayasan Pionir Bulungan. Cerita-cerita selengkapnya dapat dinikmati dalam bentuk karya tulisan dan audio visual di: tautan buku Stories from the Fields dan temukan versi berbahasa Inggris pada dokumen yang dilampirkan.