SEKOLAH TAMBAK KE-5, DETEKSI PENYEBAB KEMATIAN UDANG DAN SOLUSINYA
Penulis : Idham Malik (Aquaculture Officer, WWF-Indonesia)
Dalam semester pertama di tahun 2016, produksi udang windu di Kabupaten Pinrang, khususnya Kawasan Minapolitan Lowita, Kecamatan Suppa, mengalami penurunan drastis. Jika pada tahun sebelumnya para pembudidaya sudah panen sebanyak tiga siklus – yang masing-masing siklusnya rata-rata 150 kilogram – tahun ini rata-rata petambak gagal panen sejak di siklus pertama dan kedua.
Pada akhirnya mereka hanya mengandalkan budidaya bandeng, menurunkan jumlah tebar udang windu, atau beralih ke budidaya udang vannamei. Sebagian pembudidaya yang beralih ke udang vannamei pun mengalami gagal panen karena kurangnya pemahaman mengenai budidaya vannamei yang baik.
Menanggapi kondisi tersebut, pada awal Agustus 2016 lalu, WWF-Indonesia mengadakan Sekolah Tambak ke-5 bertema “Refleksi Budidaya Udang Windu Kawasan Minapolitan Kabupaten Pinrang Periode Awal Hingga Pertengahan 2016”
Sekolah tambak yang merupakan bagian dari skema Perbaikan Perikanan Budidaya (Aquaculture Improvement Program/AIP) ini menghadirkan narasumber Dr. Ir. Muharijadi Atmomarsono, MSc, Kepala Badan Koordinasi Minapolitan Lowita Kabupaten Pinrang, serta peneliti patologi udang dari Balai Penelitian Perikanan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros.
Muharijadi menjelaskan bahwa gagal panen dapat disebabkan oleh berbagai macam sumber penyakit seperti jamur, parasit, bakteri, virus, hingga penyakit yang berasal dari faktor lingkungan (sebaran pestisida, akibat keracunan pakan yang telah berjamur, dan kondisi tanah yang sudah bersifat sulfat masam).
Oleh karena itu, pembudidaya harus memahami jenis penyakit udang dengan melihat kondisi udang yang sakit, seperti terdapat bintik-bintik putih pada cangkang udang (karapas); pertumbuhan tidak terkontrol atau terlalu cepat, yang berarti udang terkena White Spot Syndrome Virus (WSSV); insang dan badan udang mengalami kemerahan serta ekor gripis, yang berarti penyakit disebabkan oleh bakteri vibrio; udang kerdil, yang mana bagian kepala atau hepatopankreas membesar, berarti udang terkena penyakit Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV); atau berak putih pada udang vannamei akibat kondisi pakan yang sudah menjamur.
Menurut Muharijadi, jika penyakit udang disebabkan oleh virus, maka sampai saat ini belum ada obatnya. Yang bisa dilakukan hanya tindakan pencegahan agar virus tidak berkembang dan menyebar ke area yang lebih luas. Jika penyakit disebabkan oleh bakteri seperti ekor geripis dan insang merah, maka masih dapat diobati dengan memanfaatkan daun kopasanda – atau dalam Bahasa Jawa disebut daun seruneng – dan lidah buaya. Penggunaan daun kopasanda cukup dengan mengikatnya pada kayu kemudian ditanam pada tambak. Udang yang memakan daun tersebut akan meningkat kekebalan tubuhnya.
Selain itu, pembudidaya juga harus mengetahui kondisi tanah tambak. Memastikan kondisi tanah baik dan tidak mengalami penurunan pH. Jika mengalami penurunan pH pun, maka dapat diperbaiki dengan pemberian kapur bakar. Ciri tanah yang bersifat sulfat asam adalah terdapat warna kuning pada air; ketika tanah dikeringkan dan diisi ulang dengan air, maka biasanya terdapat warna merah pada air. Untuk tanah berkondisi ini, pembudidaya dapat mengeringkan yang disertai pembilasan lahan (remediasi) secara berulang kali.
Tanah masam merupakan penyebab kematian udang, terutama pasca turun hujan. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh para peserta, yang juga diperburuk oleh keadaan cuaca tak menentu selama enam bulan terakhir. Langkah paling taktis untuk menanggulangi kondisi ini adalah para pembudidaya didampingi oleh para ahli untuk melakukan remediasi pada tambak yang memiliki tanah sulfat asam, serta melakukan pengapuran menggunakan kapur dolomit sesuai dosis sebelum hujan pada pematang tambak dan pada air tambak setelah hujan.
Tidak hanya tanah, petambak juga harus memastikan kondisi air tambak sebelum pemberian pupuk yang sesuai takaran. Pemasukan air – untuk konteks perairan di Desa Tasiwali’e dan Wiringtasi – dilakukan 2-3 jam setelah pasang pertama. Hal ini dikarenakan air yang terdapat di pasang pertama masih mengandung limbah organik dan bakteri yang tinggi. Asupan air pada Kawasan Minapolitan Lowita berasal dari Teluk Pare-pare, yang mana memiliki kandungan kalium yang tinggi sehingga tidak perlu menggunakan pupuk buatan yang mengandung nitrogen, fosfor, dan kalium (pupuk NPK).
Saat musim hujan pun sebaiknya pupuk urea dikurangi karena air hujan sudah mengandung nitrogen. Terkait hal ini, Muharijadi juga memperlihatkan panduan dalam menilai kondisi air tambak kepada para pembudidaya. Panduan tersebut berisi tingkatan warna air, yang mana warna hijau kecoklatan berarti memiliki sumber plankton yang sangat baik bagi kehidupan udang.
Hal terakhir yang harus diperhatikan oleh pembudidaya adalah benur udang (inang) itu sendiri. Petambak harus membeli udang yang siap hidup di dalam tambak, yaitu yang ekornya melebar atau sudah berada pada fase Post Larva 12. Hal ini dikarenakan udang tersebut sudah bisa mencari makan sendiri di dalam tambak. Benur tersebut ditokolkan atau dibantut terlebih dahulu selama kurang lebih enam minggu pada petakan kecil. Setelah itu, benur ditebar pada petakan yang lebih besar sehingga udang akan tumbuh lebih cepat.
Dengan adanya sekolah tambak ini diharapkan 22 orang pembudidaya yang hadir dapat mengenali penyebab gagal panen dan memahami langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencegah kegagalan panen berikutnya, dengan memperhatikan tiga aspek penting, yaitu sumber penyakit, lingkungan (tanah dan air), dan benur.