DISKUSI KONSERVASI HIU PAUS DI BUMI PANDA
Oleh: Sani Firmansyah
Sebuah diskusi bertajuk “Menjembatani Antara Biodiversitas, Budaya, dan Benefit Konservasi” telah berlangsung di Bumi Panda pada Minggu (16/10) yang lalu. Diskusi konservasi yang menghadirkan narasumber Juswono Setiawan sebagai Project Leaders Taman Nasional Teluk Cenderawasih WWF-Indonesia Program Papua ini bertujuan untuk menyampaikan pentingnya konservasi laut dan biota yang terdapat di dalamnya, salah satunya adalah hiu paus.
Kegiatan diawali dengan perkenalan tentang Rumah Edukasi Bumi Panda WWF-Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan pemutaran cuplikan video yang menggambarkan keindahan dan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Usai menonton video, peserta diskusi mendapat wawasan tentang hiu paus yang terdapat di Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih. Meskipun memiliki kata ‘Paus’ di namanya, satwa ini merupakan kelompok ikan dan bukan termasuk mamalia. Kata ‘Paus’ di dalam namanya untuk menggambarkan ukuran badannya yang sangat besar seperti paus. Hiu paus yang dapat tumbuh sampai 18-20 m, dengan panjang umur 70-100 tahun, merupakan ikan terbesar yang ada di dunia. Makanannya berupa plankton, telur ikan, dan ikan-ikan kecil. Hiu paus dapat ditemukan di perairan tropis dan subtropis hangat. Uniknya, di Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih, hiu paus dapat kita temui sepanjang tahun.
Masyarakat lokal menyebut ikan hiu paus dengan nama Gurano Bintang. Hiu paus dapat diidentifikasi dari totol yang terdapat di tubuhnya. Antara satu individu dengan individu lainnya memiliki pola yang berbeda. “Sejak tahun 2010, WWF-Indonesia melakukan identifikasi terhadap hiu paus yang berada di Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Dari 8.500 foto yang didapatkan hingga Agustus 2016, terdapat 129 individu hiu paus. Namun belum semua hiu bisa teridentifikasi karena hiu dapat berenang sangat dalam sehingga menyulitkan tim untuk melakukan identifikasi,” terang Juswono.
Dalam diskusi tersebut, para peserta juga mendapat wawasan tentang cara berinteraksi dengan hiu paus secara bijaksana. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh WWF-Indonesia, banyak ditemukan tanda-tanda luka pada tubuh hiu paus karena kapal yang membawa wisatawan terlalu dekat dengan hiu paus sehingga satwa tersebut terluka oleh baling-baling atau tertabrak kapal. Hal itu terjadi karena wisatawan belum mendapat edukasi yang baik.
Dari 5.722 turis yang berkunjung ke Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih, 50% di antaranya melakukan interaksi secara langsung dengan hiu paus, baik memegang atau memotret dengan jarak yang sangat dekat menggunakan flash kamera. Dari hasil pengamatan, 60% wisatawan masih melakukan pelanggaran dan belum mengikuti aturan atau SOP yang sudah ditentukan Balai Besar Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih.
Keberadaan hiu paus juga memiliki potensi ekowisata, “Ini merupakan potensi dari kunjungan wisatawan ke tempat tersebut sehingga nantinya akan membawa manfaat secara ekonomi bagi masyarakat sekitar dengan mengelola kepariwisataan berbasiskan lingkungan (ecotourism), sambil memperkenalkan kearifan lokal masyarakat di sana,” ujar Juswono.
Rasa ingin tahu para peserta tentang satwa yang satu ini sangat besar sehingga banyak pertanyaan terlontar selama diskusi berlangsung. “Apakah masyarakat di sana berburu hiu paus?” tanya Yohanes, mahasiswa Sekolah Tinggi Kepariwisataan Bandung. “Masyarakat di sana tidak ada yang berburu hiu paus karena kearifan lokal di sana mengharuskan untuk menjaga keberadaan spesies tersebut. Selain menjadi penyeimbang ekosistem di laut, keberadaannya hiu paus adalah warisan bagi anak cucu kita di masa depan,” jawab Juswono.
Diskusi konservasi di Bumi Panda kali ini memberikan motivasi kepada para peserta akan pentingnya konservasi hiu paus di Indonesia yang nantinya akan berdampak positif terhadap upaya konservasi yang sedang dilakukan oleh WWF-Indonesia.