KEMBALI LEBIH KAYA DARI ALOR
Oleh: Annisa Ruzuar (Communication Advisor for Responsible Marine Tourism and Sustainable Seafood WWF-Indonesia)
Empat rumah panggung tradisional di pantai berpasir putih menyambut kami begitu sampai di Pulau Sika, Alor, Nusa Tenggara Timur. “Cast away” ujar salah satu peserta trip. Tenang dan indah, tidak ada orang lain selain rombongan kami dan satu keluarga penjaga pulau. Pulau Sika adalah persinggahan pertama perjalanan wisata berbasis komunitas di Alor yang diadakan oleh WWF-Indonesia dan Jelajah Biru.
Sebagai bagian Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Pulau Sika merupakan tempat yang tepat untuk memperkenalkan ekosistem laut dan perairan pada peserta trip. Bersama nelayan dampingan WWF-Indonesia, kami berjalan santai melewati hutan mangrove yang masih rapat sambil melihat anak ikan dan kepiting di antara akar. Rupanya selain mampu menahan abrasi dan menyaring polutan, mangrove menjadi rumah bagi biota laut.
Sayangnya tidak hanya anak ikan yang ada di akar mangrove, beberapa botol dan sedotan plastik juga tersangkut disana. Sambil memungut sampah di hutan mangrove, tim WWF-Indonesia dan Jelajah Biru menjelaskan bahwa plastik butuh ratusan tahun hingga dapat terurai. Sampah plastik menumpuk dan mencemari dasar laut dan pantai yang berlokasi jauh dari lokasi pembuangan awalnya. Biota laut seperti penyu bahkan paus raksasa juga bisa terluka dan mati akibat sampah plastik.
Untungnya para peserta memiliki kesadaran lingkungan yang sangat baik. Untuk mengurangi sampah saat berwisata, mereka membawa peralatan yang bisa digunakan kembali. Selain tempat minum, mereka juga membawa sedotan dari kaca dan bambu. Dengan penggunaan 4 tumbler dan 4 sedotan pakai ulang, selama 4 hari perjalanan peserta bisa mengurangi sampah plastik sebanyak 60 botol plastik air mineral dan 40 sedotan plastic.
Tidak hanya berupaya mengurangi sampah, peserta wisata edukasi ini juga membantu Kelompok Cinta Persahabatan menanam mangrove di Kabola. Sambil menikmati ubi-ubian dan jagung serta ikan segar, peserta mendengar cerita kelompok mengenai ancaman air laut pasang di lokasi yang tidak lagi terlindungi oleh mangrove. Benar saja, air laut berhenti tak jauh dari rumah tempat kami menikmati penganan tradisional siang itu.
Untuk mengenal Alor lebih jauh, peserta diajak mengunjungi lokasi budidaya rumput laut masyarakat dampingan Forum Rumput Laut Alor (FoRLA). Rupanya kegiatan ini menjadi salah satu favorit para peserta. Dengan latar belakang matahari yang mulai terbenam mereka memasang tali bibit rumput laut sesuai lajur yang telah disiapkan. Petani rumput yang menemani hari itu bercerita dampak positif budidaya rumput laut bagi masyarakat juga tentang anak-anaknya yang telah mengenyam bangku kuliah.
Cerita dan interaksi dengan komunitas dampingan WWF-Indonesia memberikan perspektif yang berbeda bagi peserta Jelajah Alor. Konsep “responsible marine tourism (RMT) ” yang cukup asing dan terkesan rumit menjadi lebih mudah dipahami. Dengan menerapkan ketiga prinsip RMT—menjaga alam, menghormati budaya dan mendukung perekonomian lokal—kegiatan wisata memiliki makna yang lebih dalam dan berkesan.
Menjadi wisatawan yang bertanggung jawab sebenarnya tidak sulit. Bisa dimulai dengan hal-hal sederhana seperti menggunakan barang yang bisa dipakai ulang, tidak membuang sampah dan merusak lokasi yang dikunjungi, mencari tahu cara berinteraksi dengan satwa liar, serta menghormati aturan adat yang ada. Tidak hanya bersenang-senang dan berfoto di lokasi yang indah, kita akan kembali lebih kaya dengan pengalamanan bermanfaat.