SAKOL: RUMPUT LAUT HIJAU POTENSIAL DARI KABUPATEN ALOR
Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur memiliki berbagai potensi sumber daya laut yang belum dikelola secara optimal, salah satunya adalah rumput laut. Berdasarkan data partisipatif Yayasan WWF Indonesia yang dikumpulkan pada tahun 2021, Kabupaten Alor memiliki potensi luas lahan untuk budidaya rumput laut sebesar 53.787 ha. Sementara hingga saat ini, luas lahan yang dimanfaatkan baru mencapai 28,61 ha atau sekitar 12,55% dari total luasan total.
Meski luas lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut masih tergolong rendah, namun hal perlu dilihat sebagai sebuah awal yang baik untuk pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Alor. Lokasi budidaya rumput laut di Kabupaten Alor terletak di 16 desa, yaitu di Desa Aimoli, Pante Deere, Bana, Wailawar, Munaseli, Baraler, Blangmerang, Ilu, Baranusa, Piring Sina, Kalondama Barat, Kayang, Marisa, Lamma, Alumang, dan Baengonong.
Rumput laut (seaweed) adalah salah satu tumbuhan air yang banyak ditemukan hidup di perairan Kabupaten Alor, dan menjadi salah satu komoditas unggulan sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Rumput laut memiliki banyak manfaat, yang dapat diolah dengan metode sederhana (skala rumahan) maupun diolah melalui proses yang lebih kompleks seperti di industri pangan (es rumput laut), obat-obatan (farmasi), kecantikan, dan produk lainnya.
Dari berbagai macam jenis rumput laut yang tumbuh di perairan Alor, jenis sakol (Kappapychus striatum) merupakan spesies yang mudah ditemui dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Bibit sakol dapat dengan mudah ditemukan dan dibudidayakan di sepanjang pesisir Alor. Selain mendapatkan pasokan dari luar pulau, petani rumput laut juga membudidayakan bibit sakol untuk dapat terus ditanam kembali.
Salah satu metode yang digunakan masyarakat untuk melakukan praktik budidaya sakol adalah teknik patok dasar. Metode ini dilakukan dengan membentangkan tali sepanjang 20-30 meter yang diikat pada patok kayu di perairan dangkal, yaitu antara 30-50 cm dari permukaan laut.
Sakol dari Alor
Berdasarkan informasi yang disampaikan salah satu pembudidaya di Desa Aimoli, Jibrael, kegiatan budidaya rumput laut di Alor sempat meredup dan nyaris berhenti sama sekali pada rentang tahun 2003-2004. Hal ini terjadi akibat turunnya harga rumput laut menjadi Rp. 5.000,-/kg, yang menyebabkan para pembudidaya rumput laut beralih ke mata pencaharian lainnya.
Pada tahun 2010 -2016, harga jual rumput laut kembali mengalami kenaikan menjadi Rp. 11.000-16.000,-/kg dan pada pertengahan tahun 2021 harga jual rumput laut kering telah mencapai Rp. 28.000,-/kg, kondisi ini pun mendorong para pembudidaya rumput laut kembali berbondong-bondong memulai usaha budidaya rumput laut.
Darsono Sali, salah satu tokoh dari Forum Rumput Laut Alor (FoRLa-Alor), berpendapat bahwa sakol merupakan jenis rumput laut yang sesuai dengan kondisi geografis Kabupaten Alor saat ini. Selain sakol, masyarakat di Alor juga banyak yang melakukan budidaya rumput laut kotoni (Kappaphycus alvarezii). Namun hasil panen jenis kotoni dinilai tidak bisa menghasilkan produksi jenis sebanyak sakol, karena kurangnya kemampuan adaptasi dengan kondisi perairan dangkal setempat.
Meski demikian Rahmad salah seorang pembudidaya rumput laut di Pulau Kangge, Alor, mengungkapkan bahwa rumput laut jenis sakol juga memiliki kelemahan, yaitu pada kualitas bibit yang digunakan. Kualitas bibit yang diambil dari hasil panen budidaya tidak sebaik sakol yang memang khusus diperuntukkan untuk pembibitan. “Pada saat panen, bobot dari sakol ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan jenis rumput lainnya seperti kotoni, sehingga membutuhkan jumlah rumput laut yang banyak untuk meningkatkan jumlah keuntunganu” ungkap Rahmad.
Hal serupa juga disampaikan oleh Darsono Sali “Bibit rumput laut yang dibudidayakan di perairan Alor berasal dari Nusa Penida yang dihibahkan pada tahun 2009. Kemudian dikembangkan dengan mengambil bibit rumput laut dari hasil panen budidaya sebelumnya untuk penanaman berikutnya. Hal ini diduga mempengaruhi kualitas dari rumput laut itu sendiri.”
Tantangan Pembudidaya Rumput Laut di Alor
Ada beragam tantangan yang kerap dihadapi oleh para pembudidaya rumput laut di Kabupaten Alor, yaitu ketersediaan bibit rumput laut, kondisi lingkungan seperti suhu air laut, salinitas air laut, cuaca ekstrim (panas), pasang surut air laut, arus, serta hama yang menyerang budidaya seperti bulu babi, ikan, penyu, bintang laut, siput laut, cacing laut yang memakan rumput laut. Saat mulai memasuki musim panas, suhu perairan cenderung berubahnmenjadi tinggi, sehingga mengakibatkan rumput laut mengalami kerusakan dan mengakibatkan menurunnya hasil panen rumput laut. Selain suhu yang tinggi, biasanya hal ini terjadi saat kondisi perairan surut dan terjadi perubahan kecepatan arus air laut.
Periode panen rumput laut yang dilakukan oleh pembudidaya rumput laut di Kabupaten Alor cukup bervariasi, dengan kisaran umur panen antara 45-60 hari dan dilakukan berdasarkan kondisi lingkungan. Salah satu penyakit yang berpengaruh pada hasil panen rumput laut adalah ice-ice. Ciri-ciri penyakit ice-ice yaitu adanya bintik-bintik merah pada thallus hingga berwarna putih sehingga thallus mudah rapuh atau hancur. Apabila rumput laut terserang penyakit ice-ice, maka panen harus dilakukan lebih cepat, agar rumput laut yang sehat masih dapat diselamatkan. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi kualitas karaginan pada rumput laut yang dipanen.
Pengelolaan dan Daya Dukung Rumput Laut di Alor
Umumnya, setelah panen pembudidaya rumput laut di Alor akan langsung melakukan penanaman bibit rumput laut kembali. Sebagian besar aktivitas panen rumput laut dilakukan secara parsial, dimana tidak semua tali diambil hasil panennya. Setelah dilakukan pemanenan, hasil panen rumput laut akan dikeringkan selama 1-2 hari dibawah sinar matahari.
”Rumput laut kering tersebut akan dijual ke pengepul skala kecil di desa setempat. Produk rumput laut kering di Kabupaten Alor biasanya dijual ke luar daerah seperti Makassar, Kupang, dan Surabaya. Selain rumput laut kering, rumput laut basah juga dijual ke pasar lokal untuk diperjualbelikan sebagai bahan konsumsi sehari-hari masyarakat Alor,” ujar Zaka, salah satu pembudidaya rumput laut di Desa Aimoli.
Hingga saat ini, pengolahan rumput laut di Kabupaten Alor masih dilakukan dengan sangat sederhana, dan tergolong ke dalam industri rumah tangga karena terbatasnya peralatan yang dimiliki oleh masyarakat. Produk yang dihasilkan berupa es rumput laut dan dijadikan makanan olahan yang dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Walaupun masih sedikit produk olahan rumput laut yang dihasilkan, meningkatnya minat masyarakat untuk kembali memulai budidaya rumput laut merupakan hal baik yang dapat membangkitkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Alor.
Melihat adanya berbagai beberapa tantangan yang dihadapi para pembudidaya rumput laut, berbagai upaya untuk menemulan solusi pun dilakukan agar kegiatan budidaya rumput laut berjalan lebih optimal.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi persolan tersebut yaitu dengan memperhatikan kapasitas atau daya dukung perairan yang menjadi lokasi budidaya rumput laut. Daya dukung perairan merupakan suatu konsep yang dikembangkan untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungannya secara berkelanjutan, di mana hal ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penentu keberhasilan dari budidaya rumput laut.
Dengan mengetahui kualitas perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut pada suatu kawasan perairan, serta mengetahui berapa besar luasan lahan budidaya yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya, rumput laut dapat dikembangkan secara lebih optimal.
Pemerintah Kabupaten Alor bersama Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Alor, Dinas Perikanan Kabupaten alor, didukung oleh Yayasan WWF Indonesia dan Universitas Tribuana berencana melakukan kajian daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Alor. Harapannya, kegiatan ini dapat memberikan informasi terhadap daya dukung lingkungan budidaya sehingga menjadi dasar untuk pengelolaan Kawasan secara bijaksana untuk keberlanjutan budidaya rumput laut.