UPAYA MENJAGA BADAK DARI KEPUNAHAN
Oleh: Natalia Trita Agnika
Hari ini, 22 September merupakan Hari Badak Sedunia (World Rhino Day). Pada hari ini pula kita diingatkan bahwa saat ini ada lima spesies badak yang masih tersisa di dunia, dua di antaranya terdapat di Indonesia, yaitu badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis).
Badak adalah satwa soliter yang sangat sulit diamati. Sebagai contoh, anggota Rhino Monitoring Unit Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang sering keluar masuk hutan untuk memonitor keberadaan badak Jawa di kawasan TNUK saja hampir tidak pernah bertemu secara langsung dengan satwa langka ini. Keberadaan badak bercula satu ini dapat terpantau berkat kamera jebak (camera trap) yang dipasang di lokasi-lokasi yang menjadi tempat favorit badak, misalnya tempat mencari makan dan tempat berkubang.
Upaya dan kerjasama berbagai pihak –termasuk di antaranya dukungan publik—telah membuahkan hasil positif. Salah satunya adalah kabar gembira tentang kelahiran badak di TNUK. Selama 2015, ada tujuh badak Jawa lahir yang terekam kamera jebak. Dengan begitu, diperkirakan ada 64 individu badak Jawa di TN Ujung Kulon, seperti diungkapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam pidatonya di Pekan Lingkungan Hidup, di Jakarta, Kamis (8/6/16). Tentu saja hal ini menggembirakan, apalagi badak merupakan satwa yang sulit bereproduksi. Masa kehamilan badak terhitung panjang, hanya dapat bereproduksi dua atau tiga kali semasa hidupnya. Di sisi lain, sifat pemalu badak betina membuat intensitas bertemunya badak jantan dan betina menjadi sangat minim. Selain itu, biasanya badak betina enggan untuk didekati oleh badak jantan selama anaknya belum dilepas oleh badak betina tersebut.
Namun, spesies yang memiliki kulit bermosaik menyerupai baja ini masih mendapat ancaman. Saat ini, badak Jawa yang ada di TNUK mengalami ancaman terhadap pakan badak dengan adanya tanaman langkap (Arenga obtusifolia) yang tumbuh subur di hutan. Langkap tersebut menghalangi sinar matahari sehingga tanaman pakan badak tak bisa tumbuh. Menyikapi permasalahan tersebut, WWF-Indonesia mengembangkan sebuah proyek untuk mengendalikan pertumbuhan langkap.
Selain penurunan kualitas habitat akibat hadirnya tanaman langkap, fenomena perubahan iklim, terutama meningkatnya permukaan air laut juga menjadi ancaman terhadap habitat badak Jawa di semenanjung Ujung Kulon. Dari pengamatan lapangan khususnya di bagian leher semenanjung Ujung Kulon, telah terjadi penyusutan daratan yang signifikan. Lebar daratan di bagian leher semenanjung yang relatif kecil, kurang dari 2 km terancam hilang akibat abrasi seiring dengan meningkatnya permukaan air laut. “Jika tidak ada tindakan adaptasi yang dilakukan terhadap dampak fenomena perubahan iklim global, maka wilayah semenanjung berpotensi lepas dari daratan Pulau Jawa yang selanjutnya menjadi pulau tersendiri dan mengisolasi populasi badak Jawa pada akhirnya,” ungkap Yuyun Kurniawan, National Rhino Conservation Coordinator WWF-Indonesia.
Populasi badak Jawa yang hanya ada di kawasan TNUK juga memiliki permasalahan tersendiri. “Badak yang berada di satu populasi akan riskan untuk punah karena penyakit ataupun bencana alam. Oleh karena itu perlu dibangun harapan baru di luar semenanjung Ujung Kulon,” terang Kepala Balai TNUK, M. Haryono dalam sebuah kesempatan kunjungan media pada November 2015 silam. Habitat kedua ini juga untuk menghindari inbreeding yang akan mengakibatkan menurunnya kualitas genetik dan spesies menjadi rentan terhadap penyakit. Diharapkan tidak hanya sampai pada pengembangan habitat kedua saja, namun bisa dilanjutkan sampai ketiga, keempat, dan seterusnya guna menghindarkan dari kepunahan badak Jawa khususnya akibat dari wabah penyakit dan bencana alam.
Senada dengan nasib badak Jawa, badak Sumatera juga membutuhkan upaya penyelamatan. Meski secara jumlah, populasi global badak Sumatera lebih besar dari populasi badak Jawa, tetapi keberadaannya yang tersebar dalam sub-sub populasi yang kecil mengakibatkan peluang pertumbuhan populasi bagi badak Sumatera relatif lebih rendah dibanding badak Jawa. Kebakaran lahan, ekspansi lahan perkebunan, penebangan ilegal dan perburuan menjadi isu utama pelestarian badak di Sumatera. Dari sembilan kantong populasi badak Sumatera di Sumatera dan Kalimantan, hanya tersisa empat kantong saja. Hasil studi terakhir menunjukkan sudah terjadi kepunahan lokal, seperti di Taman Nasional Kerinci Seblat, yang sejak tahun 2008 sudah tidak lagi ditemukan badak bercula dua ini.
Meski manusia jarang melihatnya, badak merupakan satwa yang memiliki jasa penting untuk memelihara kualitas hutan. Melalui cara makannya sebagai satwa “browser” (pemakan semak dan pucuk dedaunan), badak membantu mengurangi pemanasan global. Ya, itu karena pucuk daun baru yang tumbuh akan menyerap karbondioksida lebih banyak dibanding pucuk daun yang tua.
Badak Jawa dan badak Sumatera merupakan satwa langka dilindungi yang saat ini berstatus Kritis (Critically Endangered). Tugas kita bersama untuk turut menjaganya supaya spesies kebanggaan Indonesia tersebut tidak punah dan tinggal cerita. Mari bergabung dalam upaya penyelamatan dan pelestarian badak melalui wwf.id/natureguardian.