KOEKSISTENSI GAJAH DAN MANUSIA
Oleh: Wishnu Sukmantoro
Salah satu persoalan terbesar gajah Sumatera adalah tumpang tindih dengan aktivitas masyarakat. Di banyak tempat di Sumatera, 80-90% habitat Gajah Sumatera telah dikooptasi perusahaan pengelola sumber daya alam dan masyarakat sehingga konflik gajah manusia tidak dapat dihindarkan dan menjadi akses beberapa kelompok untuk tujuan perburuan gading.
Balai Raja - Provinsi Riau telah menjadi kawasan habitat gajah sejak dahulu. Pembukaan hutan besar-besaran terjadi dan mengakibatkan hampir seluruh hutan sebagai habitat gajah hilang oleh tambang minyak, kebun dan pemukiman. Kini wilayah hutan tersebut hanya tersisa sekitar 150 ha saja. Konflik dengan gajah hampir setiap hari terjadi dan menimbulkan korban jiwa pada kedua belah pihak. Kondisi Balai Raja ini adalah contoh dari berbagai tempat di sumatera yang saat ini mengalami degradasi hutan alam dan konflik satwa liar terutama gajah dengan masyarakat.
Konflik terjadi akibat gajah masuk ke pemukiman, kebun masyarakat atau masuk ke perumahan komplek minyak dan merusak kebun, rumah atau menghancurkan ladang sehingga menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Perlawanan ini dapat menimbulkan kematian gajah atau manusia terluka bahkan meninggal. Kerugian masyarakat terbilang besar jika dilihat dari luasnya kebun atau ladang yang hancur, namun bisa terbilang kecil karena gajah hanya memakan tanaman yang spesifik.
Mitigasi Konflik
Gajah secara umum dijadikan sebagai hama, layaknya babi hutan atau spesies hama lainnya. Tak heran jika terjadi berbagai konflik antara gajah dengan manusia. Tapi ternyata ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi konflik dengan gajah. Beberapa caranya antara lain penggunaan parit gajah, electric fencing (kawat dengan arus kejut), menggunakan cabe (chili fencing), menggunakan gajah jinak untuk mengusir dan menggiring gajah (seperti flying squad di Riau), dan meriam karbid atau fireworks. Teknik-tenik praktis ini dipakai oleh perusahaan dan masyarakat di seluruh Sumatera. Upaya pengurangan konflik dengan cara relokasi gajah mulai ditinggalkan karena gajah liar tersebut berisiko mati dan tidak ada lokasi lagi untuk menempatkan gajah secara aman kecuali dijinakkan. Intinya, mitigasi konflik ini memaksa gajah memisahkan diri dengan kehidupan manusia agar mengurangi kerugian manusia.
Parit gajah disebut barrier fisik statis, electric fencing atau chili fencing adalah psychology barrier statik, meriam karbid atau fireworks (petasan) dan penggunaan gajah jinak adalah psychology barrier secara dinamis. Seluruh cara ini dapat mengurangi konflik di beberapa tempat tertentu. Namun, cara-cara tersebut tidak terlepas dari beberapa kelemahan pada sisi teknisnya. Teknik parit gajah dan electric fencing memerlukan pemeliharaan yang mahal dan harus dilakukan dengan disiplin. Chili fencing terbilang murah dan tidak perlu dipelihara secara detail, tetapi belum tentu efektif karena material cabe dapat luntur akibat hujan. Ada literatur penelitian pernah menyebutkan bahwa teknik ini tidak cocok untuk menangani Gajah Sumatera.