KREATIVITAS UNTUK MENDUKUNG KONSERVASI
Oleh: Adrian Pramana (Volunteer Bumi Panda) & Natalia T. Agnika
Ada banyak cara untuk mendukung upaya konservasi, mulai dari melakukan gaya hidup hijau hingga memberikan donasi untuk berbagai program konservasi. Namun, ada pula cara-cara kreatif yang bisa dilakukan sebagai upaya untuk mendukung kelestarian alam. Salah satunya adalah cara kreatif yang dilakukan oleh seorang anak muda bernama Nathan Rusli.
Pecinta ular ini menulis buku “Mengenal Ular Jabodetabek”. Dalam sebuah diskusi bertema “Mengenal Ular dan Anak Muda Kreatif” yang berlangsung di Bumi Panda WWF-Indonesia pada Minggu (18/09) yang lalu, Nathan menceritakan kecintaannya pada ular hingga kisahnya mendirikan Ciliwung Reptile Center, sebuah komunitas yang berfokus pada edukasi masyarakat tentang reptil dan amfibi yang berlokasi di Bogor.
Sejak usia 4 tahun, Nathan sudah memiliki kecintaan pada reptil ini. Dulunya, Nathan memelihara ular. Namun kemudian ia mengetahui bahwa caranya sebagai pecinta ular dengan memeliharanya adalah cara yang salah. Akhirnya Nathan beralih dan termotivasi untuk lebih menggencarkan edukasi kepada masyarakat. Apalagi biasanya masyarakat akan takut ketika bertemu dengan ular dan kemudian membunuhnya karena dianggap berbahaya. Persepsi itulah yang ingin diubahnya. Masyarakat bisa lebih mengenal ular sehingga akan lebih bijak dalam bertindak ketika menanganinya. Harapannya, keberlangsungan ekosistem tetap terjaga dengan baik. Dalam bukunya mengenai Ular Jabodetabek, Nathan berfokus pada pemetaan ular yang terdapat di area Jabodetabek.
Para peserta diskusi menyimak penjelasan Nathan dengan seksama. Sebuah pertanyaan terlontar dari seorang mahasiswa Universitas Padjajaran, Bandung bernama Willy. “Lalu bagaimana dengan para kolektor reptil dan hewan liar lainnya?” tanyanya. Nathan menjawab pertanyaan tersebut dengan bijaksana. “Cinta kepada satwa bukan berarti bisa memeliharanya. Namun cinta kepada satwa lebih kepada kita menjaganya,” jawab Nathan.
Selain menghadirkan Nathan sebagai narasumber, dalam diskusi tersebut juga hadir Riza Marlon, fotografer alam liar. Lelaki yang biasa disapa Om Caca ini memaparkan pengalamannya mengenai fotografi alam liar selama kurang lebih 30 tahun. Menekuni bidang fotografi sejak di bangku SMA, Riza bisa disebut sebagai speasialis fotografi mengenai alam liar Indonesia. Selain karya fotografinya yang luar biasa, Riza juga menulis buku berjudul “107+ Ular Indonesia” yang memberikan penjelasan tentang fakta ular dan bagaimana menghadapi ular berbisa.
Sesuai tema diskusi, Riza lebih memperkenalkan fotografi ular dan fakta mengenai ular. Mengapa? Karena banyak persepsi, bahwa setiap ular itu berbisa dan mematikan. Hewan yang satu ini memang cukup membuat takut masyarakat pada umumnya. Dari ribuan spesies ular yang ada di dunia, kurang dari setengahnya merupakan spesies yang berbisa. Selain memaparkan fakta tentang ular, Riza juga memotivasi para peserta diskusi untuk bisa lebih kreatif dan juga membuat karya-karya yang bermanfaat untuk konservasi. Tentunya karya-karya tersebut harus disesuaikan dengan passion yang dimiliki. Riza terdorong untuk berkarya dengan bukunya mengenai ular di Indonesia karena masih minimnya literasi tentang ular. Harapannya, buku karyanya itu bisa menjadi acuan atau panduan bagai khalayak.
Diskusi berlangsung hangat. Peserta yang mayoritas merupakan mahasiswa dari daerah Bandung dan masyarakat umum banyak bertanya mengenai pembuatan karya kreatif, terutama bagaimana cara membuat buku yang baik dan benar. “Membuat sesuatu yang ilmiah dan bersifat pengetahuan bukan saja bisa dilakukan olah kalangan ilmiah atau ilmuwan, tetapi dapat juga dari hal yang sifatnya kecintaan pada sesuatu seperti fotografi. Dari sana kita dapat belajar subyek foto yang diambil seperti apa dan bagaimana sifatnya,” pungkas Riza sembari menutup pertanyaan terakhir dalam diskusi.